ANTIBAKTERI SARANG SEMUT

1. Sharing session

https://youtu.be/T6ljaG9zA2U


2. Teknologi tepat guna:

 https://drive.google.com/file/d/16l3ZYNohLiP5JhQv8C-o5iJji81x7Wdx/view?usp=drivesdk 


3. Jurnal:

https://jtp.ub.ac.id/index.php/jtp/article/view/664/1014


4. Presentasi 1:

https://drive.google.com/file/d/16wH413mvPFZMe4HHIwI_hwHPNQFxCfwu/view?usp=drivesdk


5. Presentasi 2:

https://drive.google.com/file/d/170xFQcYg-6v-yaZz5AGs4sW6FRHGGu_R/view?usp=drivesdk


6. Artikel:

https://drive.google.com/file/d/16ud0lGbvQALAc19j4IUyyuQMkUd4UtFp/view?usp=drivesdk



7. BBKSDA




I . PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang

Papua merupakan salah satu Pulau yang memiliki sumber daya alam  kaya, beranekaragam dan melimpah, baik sumber daya hutan maupun sumber daya perikanannya. Salah satu tumbuhan yang dapat ditemukan di Papua yaitu tanaman sarang semut (Myrmecodia pendans). Tumbuhan sarang semut dapat ditemukan menempel pada pohon di sekitar  pantai sampai ketinggian dibawah 2.500 m di atas permukaan laut. Tumbuhan sarang semut tersebar di hutan belantara tropis Papua dan Pulau sekitarnya, dan lebih banyak ditemukan di daratan berupa hutan pada ketinggian 600 m diatas permukaan laut (Subroto, 2006).

Pudjiastuti (2014) menyatakan bahwa masalah transportasi merupakan masalah utama distribusi hasil perikanan dari suatu wilayah ke wilayah lain dan berakibat menurunkan kualitas hasil perikanan tersebut. Wilayah Indonesia Timur khususnya Pulau Papua yang kaya akan sumber daya laut, selama ini hanya sebatas dikonsumsi oleh penduduk lokal dikarenakan waktu simpan ikan lebih pendek dari pada waktu transportasi yang dibutuhkan untuk memasarkan ikan ke pulau lainnya. Salah satu jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis penting yang dipasarkan dalam keadaan segar adalah ikan kakap merah. Menurut Susanto (2011), ikan segar yang disimpan menggunakan es dengan perbandingan 1:1, pada hari ke 12 mengalami penurunan mutu yang sudah tidak dapat diterima dari sisi organoleptik dan total bakterinya. Bakteri-bakteri yang potensial terdapat pada ikan diantaranya Listeria monocytogenes, Vibrio parahaemolyticus dan Escherichia coli (Jay et al., 2005; Shankar, 2013). Menurut Jay et al. (2005), Listeria monocytogenes dapat tumbuh secara cepat pada  suhu 1 – 45 °C dan kisaran pH 4,1 – 9,6 sehingga akan mampu mempertahankan diri dalam waktu yang lama. Kejadian-kejadian mengenai resistensi bakteri patogen akibat penggunaan obat-obatan mendorong pencarian antibakteri alami menjadi kebutuhan yang mendesak.  Bahan alam adalah salah satu sumber antimikroba  yang belum banyak dikaji mengenai potensi  sifat antibakterinya, khususnya terhadap bakteri patogen (Ambrosio, 2008 dalam Apriyanti, 2015). 

Hasil penelitian Apriyanti dkk. (2015) menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat Myrmecodia pendans dengan metode sokhletasi yang diidentifikasi dengan kromatografi kolom mengandung  Butein, 3-methoxy-epikatekin-3-O-epikatekin dan asam dibenzi-2-dioxin-2,8-dicarboxylate yang bersifat antibakteri terhadap Enterobacter faecalis. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa ekstrak kasar sarang semut mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus (Setyani, 2012), Escherichia coli (Situmeang, 2013) dan Candida albicans (Efendi, 2013). 

Komponen yang diisolasi dari ekstrak (metode maserasi, pelarut etanol 80% dan aquades 20%) sarang semut adalah kaempferol (13,767 mg/g), luteolin (0,005 mg/g), rutine (0,003 mg/g), quercetin (0,030 mg/g) dan apigenin (4,700 mg/g) (Engida, 2013). Sedangkan menurut Suwandi (2015), ekstraksi sarang semut dengan pelarut akuades dan maserasi selama 30 menit, ekstrak mengandung  quercetin (6,9 mg/g), kaempferol (3,7 mg/g) dan rutin (1,39 mg/g). Quercetin dan kaempferol mempunyai diameter hambat masing-masing 9 dan 8,5 mm terhadap methycillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (Xu, 2011).

Menurut Baghdikian (2015), keuntungan utama dari Microwave Assisted Extraction (MAE) adalah efisiensi waktu ekstraksi, peningkatan selektivitas dan hasil yang lebih tinggi dari ekstrak, reproduktifitas tinggi dalam waktu yang lebih singkat dan mengurangi konsumsi pelarut.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka diperlukan perlu adanya penelitian untuk mengetahui aktifitas antibakteri tanaman sarang semut asal Papua dan aplikasinya pada ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus) fillet. Metode ekstraksi yang digunakan adalah Microwave Assisted Extraction (MAE).

1.2. Tujuan

Tujuan eksprimen ini untuk mengetahui pengaruh penambahan ekstrak tanaman sarang semut dan lama waktu penyimpanan pada suhu 4 dan -8 °C terhadap pertumbuhan Listeria monocytogenes pada ikan kakap merah .

1.3. Manfaat

Manfaat penelitian ini untuk mengetahui potensi tanaman sarang semut sebagai sarana dalam menghambat pertumbuhan bakteri pada ikan dan pembusukan, sehingga dapat dimanfaatkan oleh nelayan, pengolah ikan dan peserta didik SUPM Sorong sebagai bahan tambahan alami yang dapat memperpanjang daya awet ikan selama penyimpanan ikan dalam proses praktikum kegiatan belajar mengajar. 









II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taksonomi Tanaman Sarang Semut (Myrmecodia pendans)

Tanaman sarang semut tumbuh sebagai tumbuhan epifit pada tumbuhan Cajuput, Cemara Gunung, Kaha dan Beech. Tumbuhan ini disebut sarang semut karena bagian dalam umbinya digunakan sarang oleh semut dari genus Iridomyrmex (Soeksmanto, 2010). Genus dan spesies tumbuhan sarang semut dibedakan berdasarkan karakteristik morfologi seperti warna dan keadaan permukaan umbi, bentuk dan jumlah batang, bentuk dan ukuran daun, kemudian beberapa karakter pada infloresen, bunga, bentuk polen dan jumlah poret pada polen, buah, dan pyrenes (Susanti, 2016). 

 

Gambar 1. Tanaman Sarang Semut (Soebroto, 2008)

Tanaman sarang semut tergolong family Rubiaceae dengan 5 genus, dan hanya 2 genus yang memiliki hubungan dengan semut, yaitu Myrmecodia (45 spesies) dan Hypnophytum (26 species), dan dari spesies-spesies tersebut, hanya 3 spesies yang dimanfaatkan untuk pengobatan, diantaranya Myrmecodia pendans (Soeksmanto, 2010). Genus Myrmecodia, umumnya mempunyai satu batang yang besar dan pendek, kadang bercabang. 

Bentuk tumbuhan sarang semut spesies Myrmecodia pendans ditunjukkan pada Gambar 1. Batang dan umbi genus Myrmecodia hampir selalu berduri (Susanti, 2016). Genus Myrmecodia memiliki infloresen yang berkembang secara tenggelam pada alveoli atau di saluran yang berada diantara baris clypeoli . Bunganya memiliki 4 capit (hook) yang berada di ujung tabung corolla (Susanti, 2016). Alveoli adalah rongga dipermukaan batang, tempat munculnya kuncup bunga, sedangkan clypeoli adalah struktur berbentuk seperti perisai yang terdapat di pangkal tangkai daun (petiole) (Susanti, 2016). Dua spesies dari genus ini dapat dibedakan berdasarkan karakteristik batang, daun, dan jelas-tidaknya clypeoli (Susanti, 2016). Tiap jenis sarang semut biasanya dihuni oleh satu jenis semut. Berdasarkan identifikasi yang telah dilakukan, sarang semut jenis Myrmecodia pendans dihuni oleh semut jenis Ochetellus sp. (Soeksmanto, 2010).

2.2. Senyawa Fenolik dalam Tanaman Sarang Semut (Myrmecodia pendans) dan Mekanismenya sebagai Antibakteri

Tumbuhan Sarang semut telah dimanfaatkan penduduk lokal di Papua sebagai bahan obat untuk menyembuhkan berbagai macam gangguan kesehatan seperti kanker, jantung koroner, tumor, asam urat, leukemia, wasir, reumatik dan beberapa penyakit lainnya. Namun demikian, apakah penggunaan sarang semut bisa menyembuhkan penyakit atau tidak belum bisa dibuktikan secara ilmiah (Subroto, 2006).

Menurut Brobaralla (2012), Metabolit sekunder antibakteri diklasifikasikan dalam tiga molekul besar yaitu fenolat, terpen dan alkaloid. Fenolat dan polifenol adalah salah satu kelompok terbesar dari metabolit sekunder yang telah menunjukkan aktivitas antimikroba. Sub kelas penting dalam kelompok ini termasuk fenol, asam fenolik, kuinon, flavon, flavonoid, flavonol, tanin dan kumarin. Fenol adalah kelas senyawa kimia yang terdiri dari hidroksil fungsional antibakteri senyawa alami dari tanaman.

Menurit Lin (2004), bagian fenolik yang bersifat hidrofobik memungkinkan penempelan pada membran sitoplasma bakteri yang pada akhirnya akan mengakibatkan kematian sel. Menurut Lin (2004), bagian hidrofobik alami yang dimiliki oleh senyawa fenol mampu bekerja secara lebih efektif dalam menghadapi bagian lipid dan air dalam daging, sehingga cocok diaplikasikan dalam makanan. Menurut Rehm (2008), senyawa hidrofilik golongan fenolik akan merusak sel bakteri dengan cara mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga mengakibatkan kebocoran bahan-bahan intraseluler serta dapat menginaktifkan dan mendenaturasi protein seperti enzim. Engida (2013) telah menganalisa ekstrak sarang semut dengan metode maserasi menggunakan pelarut air dan diidentifikasi menggunakan HPLC, mendapatkan lima senyawa flavonoid yaitu kaempferol (13,767 mg/g), luteolin (0,005 mg/g), rutine (0,003 mg/g), quercetin (0,030 mg/g) dan apigenin (4,700 mg/g).

Menurut Bobbarala (2012), flavon adalah struktur fenolik yang mengandung satu gugus karbonil. Penambahan kelompok 3-hidroksil menghasilkan flavonol a. Flavonoid juga merupakan hidroksilasi zat fenolik tetapi terjadi sebagai unit C6-C3 terkait dengan cincin aromatik. Flavon, flavonoid dan flavonol telah dikenal banyak disintesis oleh tanaman dalam melawan infeksi mikroba sehingga tidak mengherankan bahwa mereka telah ditemukan, divitro, untuk menjadi zat antimikroba efektif melawan berbagai macam mikroorganisme (Dixon et al., 1983, seperti dikutip dalam Cowan, 1999). Kegiatan mereka ini mungkin karena kemampuan mereka untuk menyatu dengan protein ekstraseluler dan dengan dinding sel bakteri. Lipofilik flavonoid juga dapat mengganggu membran mikroba (Tsuchiya et al., 1996, seperti dikutip dalam Cowan, 1999).

Kandungan senyawa aktif dalam sarang semut dapat dimanfaatkan sebagai pengawet alami pada produk pangan (Naufalin, 2013). Kandungan senyawa kimia dari tumbuhan sarang semut, terutama senyawa-senyawa yang diduga memiliki peranan dalam aktifitas resistensi patogen, aktifitas alelopati dan pertahanan terhadap herbivore seperti ulat. Senyawa tanin terhidrolisa, flavonoid, dan tanin terkondensasi yang oleh tanaman digunakan untuk sistem pertahanan diri, oleh manusia dimanfaatkan sebagai bahan aktif untuk obat (Subroto, 2006). 

Menurut Cowan (1994), tanin dapat menginaktifasi enzim pertumbuhan sehingga dapat mengganggu transport sel protein di dalam sel. Menurut Chung et al. (1995), senyawa tumbuhan alami salah satunya asam tanat dan turunannya mempunyai peran penting dalam mengendalikan bakteri patogen pada ikan di kolam. 

Menurut Scalbert (1991), tanin terdiri dari banyak jenis, dan tiap jenis tanin mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap jenis bakteri satu dengan bakteri lainnya. Mekanisme tanin sebagai antibakteri dapat terjadi dengan cara menghambat pertumbuhan enzim ekstra sel bakteri, mengambil substrat bakteri, mengganggu metabolisme bakteri dan mengkelat ion logam pada bakteri. Beberapa enzim yang terdapat pada mikroba seperti celulase, pectinase, xilanase dan peroxidase, akan terhambat setelah bercampur dengan senyawa tanin. Asam tanat juga dapat menghambat oksidasi phosphorilase mitokondria dengan terlebih dahulu harus melewati dinding sel yang terdiri dari polisakarida dan protein yang berbeda-beda. 

Menurut Duncan (1969), ketika asam tanat dapat menembus membran sel dan mitokondria, asam tanat akan langsung berikatan dengan protein dalam membran mitokondria sehingga dapat memodifikasi permeabilitas mitokondria terhadap ion-ion dimana pergerakan ion menjadi suatu kebutuhan yang mutlak pada reaksi fosforilasi oksidatif dalam mitokondria. Selain itu, asam tanat juga dapat menyebabkan translokasi pada ADP melewati inner membran, sedangkan ADP dibutuhkan dalam reaksi fosforilasi oksidatif pada mitokondria untuk menghasilkan ATP sebagai sumber energi. Penambahan asam tanat juga dapat menurunkan Indeks Kontrol Respirasi dan konsumsi oksigen pada mitikondria yang dibutuhkan dalam reaksi oksidasi fosforilasi (Duncan, 1969).

2.3. Ikan Kakap Merah

Menurut Genisa (1999), ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus) hidup di daerah perairan pantai hingga kedalaman 100 m. Ikan ini menyendiri dan tergolong ikan buas. Ikan-ikan kecil dan invertebrata dasar merupakan makanan ikan kakap merah. Ukurannya panjangnya dapat mencapai 90 cm, umumnya 35-50 cm. Kakap merah termasuk jenis demersal, yang dapat ditangkap menggunakan pancing, bubu, pukat dasar. Pemasarannya biasa dalam bentuk segar, asin-kering, harga sedang. Ikan kakap merah tersebar di perairan seluruh Indonesia, Teluk Benggala, Siam, Laut Cina Selatan, Filipina, pantai Australia dan Afrika Selatan. Ikan kakap merah merupakan salah satu ikan ekonomis penting di Indonesia yang dalam proses distribusi dan pemasarannya diawetkan dengan pendinginan dan pembekuan.

2.4. Bakteri Patogen Pada Ikan

Menurut Jay et al. (2005) bakteri penyebab foodborne disease antara lain Salmonella, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Vibrio parahaemolitycus, Vibrio cholera, Enterobacter faecalis, Clostridium botulinum dan lain-lain. Bakteri-bakteri tersebut dapat menimbulkan gejala penyakit mual, pusing, muntah, diare, pingsan sampai kematian. Bakteri-bakteri tersebut merupakan bakteri yang sering ditemui terdapat pada daging ikan.

Penyimpanan makanan dibawah suhu 4,4 oC akan meminimalkan dan membebaskan bahaya enterotoksin dan bahaya keracunan makanan lainnya yang disebabkan oleh bakteri-bakteri tersebut. Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan makanan didasarkan pada fakta bahwa aktivitas mikroorganisme dapat diperlambat pada suhu dibawah titik beku. Seafood beku mempunyai kandungan bakteri yang lebih sedikit dibandingkan dengan produk segar (Jay et al., 2005)

2.4.1. Escherichia coli

Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif fakultatif aerob yang berbentuk batang, merupakan salah satu bakteri patogen yang menyerang pencernaan manusia. Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi akut yang ditandai dengan gejala mual dan muntah. Diare akut telah menyebabkan antara 3 sampai 4 juta kematian setiap tahun di seluruh Dunia, dimana 20-30% korban terdiri dari anak-anak (Salminen, 1998).

Shankar (2013) mengisolasi bakteri dari 6 jenis ikan, 2 diantaranya adalah Genus Lutjanus (kakap). Setelah diidentifikasi, kedua jenis ikan kakap tersebut positif mengandung  Escherichia coli.

Escherichia coli merupakan bakteri yang biasa digunakan sebagai indikator polusi dalam makanan atau air, bakteri ini berasal dari feses. Escherichia coli yang terdapat pada ikan menunjukkan bahwa ikan tersebut telah tercemar oleh kontaminan yang berasal dari luar tubuhnya dikarenakan bakteri ini tidak biasa terdapat dalam tubuh ikan (Rio-Rodriguez et al.,1997).

2.4.2. Listeria monocytogenes

Pada tahun 2013, terjadi 281 kasus penolakan produk ekspor dari Indonesia (import refusal). Sebanyak 64,1% (180 kasus) merupakan produk perikanan dan 35,9% (108 kasus) merupakan produk non perikanan. Kurang lebih 50% kasus penolakan produk perikanan di pasar Amerika disebabkan oleh kontaminasi bakteri patogen seperti Salmonella sp. dan Listeria monocytogenes (US FDA, 2013).

Terdapat 6 spesies Listeria, salah satunya adalah Listeria monocytogenes. Listeria monocytogenes merupakan bakteri  Gram-positif, memiliki dinding sel, asam lemak, dan komposisi sitokrom. Genus Listeriae tersebar luas di alam dan dapat ditemukan di vegetasi tanah, kotoran hewan, limbah, silase, dan air. Biasanya, organisme ini ditemukan di susu mentah, keju lunak, daging, produk unggas, makanan laut beku, buah-buahan dan produk nabati (Jay et al., 2005). Bakteri ini dapat tumbuh secara cepat terhadap suhu sekitar 1 – 45 oC dan kisaran pH 4,1 sampai 9,6 sehingga akan mampu mempertahankan dirinya dalam waktu yang lama.

Menurut Subuh (2015), bakteri ini telah ditemukan pada setidaknya 17 spesies burung dan beberapa spesies ikan dan kerang. Sebagai bakteri yang membentuk spora, bakteri ini sangat kuat dan tahan terhadap panas, asam dan garam. Bakteri ini juga tahan terhadap pembekuan dan tetap tumbuh pada suhu 4 oC, khususnya pada makanan yang disimpan pada lemari pendingin. Bakteri ini membentuk biofilm, yakni pembentukan lapisan lendir pada permukaan makanan.

Gejala Listeriosis dapat muncul kapan saja antara 3-70 hari pasca infeksi bakteri Listeria rata-rata 21 hari. Gejala umumnya yaitu demam, nyari otot disertai mual atau diare. Jika infeksi menyebar ke sistem saraf pusat, gejala dapat mencakup sakit kepala, kaku pada leher, bingung, kehilangan keseimbangan, kejang, dan pada wanita hamil dapat mengakibatkan keguguran bayi (Subuh, 2015).

Beberapa Negara telah menetapkan batas jumlah mikroorganisme yang diperbolehkan terdapat dalam makanan terutama makanan siap makan. Pemerintah Amerika Serikat bahkan memiliki kebijakan yang paling keras dimana setiap 50 g sampel makanan siap saji yang mengandung bakteri ini dapat dianggap sebagai makanan tercemar. Tercatat 62% dari 37 sampel air diperairan pesisir California positif mengandung organisme ini. Listeria monocytogenes dapat menyebar diseluruh lingkungan dengan perantara manusia (Jay et al., 2005)

Adesiyun (1993) telah melakukan pengujian Listeria monocytogenes di daerah Trinidad pada daging ikan dari 61 sampel, dan 9 sampel (14,8%) positif mengandung Listeria monocytogenes. Frekuensi tersebut merupakan yang tertinggi dari sampel yang diambil dari bahan pangan lain seperti daging kambing (10%), daging sapi (6,6%), udang (4,9%), ayam (0%), daging giling (11,4), babi (1,4%) dan daging domba (0%).

2.4.3. Vibrio parahaemolyticus

Menurut Su (2007), Vibrio parahaemolyticus merupakan penyebab utama penyakit usus di Asia yang disebabkan oleh makanan laut. Su (2007) melakukan pengambilan sampel daging ikan dan dilakukan identifikasi bakteri, didapatkan bahwa Genus Vibrio mendominasi bakteri lain yang terdapat pada daging ikan, dan setelah diidentifikasi lebih lanjut, dari 47 sampel Genus Vibrio tersebut ditemukan terdiri dari sebanyak 20 spesies Vibrio parahaemolyticus, 17 sampel berupa Vibrio cholera, 4 sampel Vibrio furnissi, 2 sampel Vibrio fluvial, dan sisanya berupa Vibrio jenis yang lain.

Vibrio parahaemolyticus adalah bakteri berbentuk batang lurus atau melengkung Gram-negatif dan merupakan anggota dari keluarga Vibrionaceae. Meskipun sebagian besar bakteri yang dikenal meracuni makanan dapat berasal dari berbagai makanan, namun Vibrio parahaemolyticus gastroenteritis hanya dapat berasal dari seafood. Vibrio parahaemolyticus yang terdapat pada makanan, disebabkan kontaminasi silang dari produk makanan laut. Fitur lain yang unik dari Sindrom ini adalah habitat alami dari etiologi agen-laut. Selain perannya dalam gastroenteritis, Vibrio parahaemolyticus diketahui menyebabkan infeksi  ekstra-intestinal pada manusia. Genus Vibrio terdiri dari setidaknya 28 spesies, dan 3 yang sering dikaitkan dengan Vibrio Parahaemolyticus di lingkungan perairan dan seafood adalah Vibrio vulnificus, Vibrio alginolyticus, dan Vibrio cholerae. Vibrio parahaemolyticus berasal perairan laut dan pesisir. Di perairan laut, mereka cenderung berhubungan lebih banyak dengan kerang dari pada dengan spesies laut lain (Jay et al., 2005).



















III. PROSEDUR DAN HASIL EKSPRIMEN

3.1. Persiapan Eksprimen

3.1.1. Obyek dan Variabel Eksprimen

Obyek dari eksprimen ini meliputi perlakuan perendaman daging ikan dengan ekstrak sarang semut, sedangkan obyeknya adalah jumlah bakteri yang terdapat pada ikan.

3.1.2. Bahan dan Alat yang Digunakan

Bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan aplikasi pengujian bakteri pada ikan yaitu: Media Nutrient Agar (NA), Nutrient Broth (NB), daging ikan, Buffer Peptone Water (BPW), plastik polyetilen 0,3 μm, Plate Count Agar, Larutan Butterfield’s Phosphate Buffered (BFP), BPW 0,1 %, Trypticase Soy Agar dengan Yeast Extract (TSAy).

Alat yang digunakan yaitu: MAE (merk Anton Paar), LC-MS (Quantum), rotary evaporator (Ika, HB 10 basic), spektrofotometer UV-VIS (Unico-UV 210), timbangan digital (Mettle denver), oven, gelas beaker 250 ml transparan Pyrex, kertas saring halus, botol kaca, aluminium foil, sentrifuse, labu takar 100 ml, Erlenmeyer, gelas ukur, pipet, jarum ose, tabung reaksi, kertas cakram, cawan petri, HPLC, tabung Craigie, pipet volumetrik, botol media, gunting, pinset, stomacher, mikroskop, pembakar Bunsen, magnetic stirrer, inkubator temperatur 30 °C ± 1 °C (WTB binder), inkubator temperatur 37 °C ± 1 °C (WTB binder), penangas air, lemari steril (clean bench), lemari pendingin (Toshiba), freezer (Toshiba).



3.1.3. Persiapan Eksprimen

Sarang semut diperoleh dari Kabupaten Sorong Papua Barat. Sarang semut yang telah kering dianginkan, dipisahkan dari kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dan dicuci. Sampel dikeringkan dengan oven pada suhu 60-70 oC supaya kualitas bahan tetap terjaga. Sarang semut dihaluskan menggunakan blender dan diayak dengan ukuran 150 mesh. Tahap selanjutnya yaitu dilakukan pembungkusan dan penyimpanan pada suhu dingin, setelah itu diekstrak dalam larutan etanol pada suhu 70 oC.

3.2. PELAKSANAAN EKSPRIMEN

3.2.1. Langkah-langkah Eksprimen

Ikan kakap merah yang didapatkan dari nelayan diangkut dengan kemasan sterofoam menggunakan es menuju Laboratorium. Masing-masing sampel dicuci menggunakan akuades steril dan dipotong / dipisahkan secara aseptis dan disterilisasi. untuk dilakukan pengujian Listeria Monocytogenes. Semua sampel di inokulasi bakteri dengan cara perendaman menggunakan suspensi 107 CFU/ml Listeria monocytogenes selama 15 menit pada suhu ruang. 

Fillet dipotong / dipisahkan secara aseptis sebanyak 16 sampel fillet dengan berat masing-masing sampel 10 g dengan ketebalan 1-2 cm, dimana dari ke 16 sampel tersebut terdiri dari 4 macam perlakuan, yaitu:

Penyimpanan dingin (4 oC) tanpa perendaman ekstrak (4 sampel)

Penyimpanan dingin (4 oC) dengan perendaman ekstrak (4 sampel)

Penyimpanan beku (-8 oC) tanpa perendaman ekstrak (4 sampel)

Penyimpanan beku (-8 oC) dengan perendaman ekstrak (4 sampel)

Setelah inokulasi, sebanyak 8 sampel direndam dalam ekstrak sarang semut dengan konsentrasi 0,1 %, dan 8 sampel yang lain (kontrol) direndam dalam larutan buffer phosphate masing-masing selama 15 menit. Penirisan dilakukan selama 5 menit kemudian 3 sampel fillet dengan perendaman ekstrak sarang semut disimpan pada suhu 4 oC dan 3 sampel lainnya pada suhu -8 oC, perlakuan yang sama juga dilakukan 8 fillet control. Pengujian Listeria monocytogenes dilakukan kembali pada semua sampel setelah 15,30 dan 45 hari penyimpanan, dengan mengambil dari sebagian potongan fillet dengan cara aseptis.

3.2.2. Hasil Eksprimen

Berdasarkan analisa statistik menggunakan Anova (Lampiran 1), diketahui bahwa keempat jenis perlakuan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap laju pertumbuhan bakteri Listeria monocytogenes, dari hari ke 1, 15, 30 sampai hari ke 45.

 

Gambar 2.   Pengaruh Perlakuan Perendaman Daging Ikan dengan Ekstrak Terhadap Pertumbuhan Listeria monocytogenes (♦Suhu 4 oC, ■Suhu 4 °C dengan ekstrak, ▲Suhu -8 °C, ●Suhu  -8 °C dengan ekstrak.)

Berdasarkan Gambar 2, jumlah peningkatan jumlah bakteri yang tertinggi dialami oleh sampel dengan perlakuan penyimpanan dingin tanpa perendaman ekstrak, kemudian diikuti secara berurutan oleh sampel perlakuan penyimpanan dingin dengan perendaman ekstrak, sampel perlakuan penyimpanan dingin tanpa perendaman ekstrak, dan sampel perlakuan penyimpanan beku dengan perendaman ekstrak.

Pada hari pertama, jumlah sel semua perlakuan mengalami peningkatan dibandingkan dengan hari ke 0, dimana kenaikan kedua perlakuan sampel dengan perendaman ekstrak mengalami kenaikan yang lebih sedikit dari pada kenaikan kedua sampel yang tidak diberikan perlakuan perendaman ekstrak. Berdasarkan penelitian tahap I, ekstrak sarang semut yang digunakan untuk perendaman ini mempunyai kandungan fenol 150,33 mgGAE/g. Menurit Lin (2004), bagian fenolik yang bersifat hidrofobik memungkinkan penempelan pada membran sitoplasma bakteri yang pada akhirnya akan mengakibatkan kematian sel. Menurut Lin (2004), bagian hidrofobik alami yang dimiliki oleh senyawa fenolik mampu bekerja secara lebih efektif dalam menghadapi bagian lipid dan air dalam daging, sehingga cocok diaplikasikan dalam makanan.

Pada kedua sampel penyimpanan dingin, sampel yang tidak mengalami perlakuan perendaman ekstrak memiliki kenaikan jumlah sel yang jauh lebih tinggi dari pada sampel yang direndam pada ekstrak, baik pada hari ke 15, 30 dan 45. Sampel tanpa perendaman memiliki jumlah sel 28x104 cfu/g pada hari ke 0, berjumlah 3,3x104 cfu/g pada hari ke 1, berjumlah 3,1x105 cfu/g pada hari ke 15, berjumlah 6,7x105 cfu/g pada hari ke 30, dan diatas 107 cfu/g pada hari ke 45. Hasil ini sebanding dengan penelitian Lin (2004) yang meneliti bahwa pertumbuhan Listeria monocytogenes tanpa penembahan ekstrak pada ikan yang disimpan pada suhu 4 oC, jumlah sel bakteri tersebut mengalami peningkatan sebesar 1 log10 cfu/g dari hari ke 0 hingga hari ke-8. Dalam penelitian tersebut, dinyatakan bahwa kandungan fenol yang terdapat dalam ekstrak Oregano berperan dalam menurunkan jumlah sel sejumlah 3 log10 cfu/g pada hari kedelapan. Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Miladi et al. (2008), menyatakan bahwa Listeria monocytogenes masih mempunyai kemampuan tumbuh pada suhu 2-5 oC. Ikan yang di inokulasi Listeria monocytogenes kemudian disimpan pada suhu 4 °C, setelah 15 hari mengalami kenaikan jumlah sel sejumlah 1,46 log10 cfu/g. kenaikan ini lebih kecil dari pada ikan yang disimpan pada suhu 25 oC (Miladi et al., 2008). Pada hari ke 45, sampel perlakuan dingin tanpa perendaman tersebut sudah akan mengalami fase stationer, dimana grafik akan mengalami arah yang horizontal, dan pada sampel penyimpanan dingin dengan perendaman ekstrak masih dalam fase log.  

Sampel yang lain pada suhu penyimpanan yang sama dengan perlakuan perendaman ekstrak terlebih dahulu sebelum penyimpanan dingin, memiliki jumlah sel yang lebih sedikit di setiap waktu pengamatan, mulai dari hari ke 1, 15, 30 sampai 45 hari. 

Begitu pula dengan kedua sampel yang disimpan pada suhu -8 °C, sampel yang tidak mengalami perlakuan perendaman ekstrak memiliki kenaikan jumlah sel yang jauh lebih tinggi dari pada sampel yang direndam pada ekstrak, baik pada hari ke 15, 30 dan 45. Menurut Chung et al. (1993), Tanin mempunyai daya hambat pada uji cakram terhadap 15 jenis bakteri diantaranya Listeria monocytogenes dan Escherichia coli, sedangkan asam galat yang merupakan produk hidrolisis dari asam tanat, tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri tersebut, dikarenakan rantai ester pembentuk asam tanat pada asam galat adalah berperan penting sebagai antibakteri pada komponen tersebut.

Kedua sampel dengan perlakuan penyimpanan beku mempunyai pertumbuhan sel lebih rendah dari pada penyimpanan beku, baik dengan perlakuan perendaman ekstrak atau tanpa perendaman sebelum penyimpanan beku. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Miladi et al. (2008), bahwa penyimpanan beku ikan salmon yang telah diinokulasi Listeria monocytogenes dapat menurunkan jumlah sel 1 sampai 2 log10 cfu/g pada hari ke 30 penyimpanan beku. Dari hari ke 30 sampai hari ke 200 penurunan jumlah sel tidak banyak, yaitu kurang dari 1 log cfu/g.  Pada suhu dibawah 0 °C, bakteri Listeria monocytogenes mengalami penyusutan ukuran sel dan mengalami evolusi karakter biokimia, dimana beberapa enzim (D-arabitol, D-xylose, L-rhamnose, α-methyl-D-glucoside, D-ribose, glucose-1-phosphate, dan D-tagatose) memproduksi asam.
















 

          Sarang semut kering


 

                     Blender


 

         Serbuk sarang semut


                                 

                     Ekstraksi     Ikan kakap merah


                                

     Ekstrak sarang semut               Perendaman fillet menggunakan ekstrak


             Setelah 45 hari, jumlah mikroba ikan

Lebih rendah dari pada ikan tanpa ekstrak


Gambar 3. Alur Proses Eksprimen

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dan saran yang didapatkan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut.

4.1. Kesimpulan 

Pada penyimpanan suhu 4 oC maupun -8 oC, daging ikan yang sebelumnya mengalami perlakuan perendaman dengan ekstrak perlakuan terbaik dengan konsentrasi 0,1 % mengalami  peningkatan pertumbuhan Listeria monocytogenes lebih lambat dari pada daging ikan yang tidak mengalami perlakuan perendaman ekstrak.

Pada pengamatan akhir hari ke 45, jumlah log Listeria monocytogenes dari perlakuan penyimpanan dingin tanpa perendaman ekstrak 6,07 log10/g, penyimpanan dingin dengan perendaman ekstrak 5,7 log10/g, penyimpanan beku tanpa perendaman ekstrak 4,95 log10/g dan penyimpanan beku dengan perendaman ekstrak sebelum penyimpanan 4,41 log10/g.

Perendaman ikan pada ekstrak dapat memperlambat pertumbuhan bakteri dan pembusukan ikan dan memperpanjang umur simpan ikan, sehingga dapat diaplikasikan pada nelayan yang menyimpan ikannya dalam waktu yang lama, ataupun untuk siswa SUPM jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan yang menyimpan bahan baku ikan untuk digunakan dalam praktek Teaching Factory. 

4.2. Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai ekstraksi tumbuhan sarang semut menggunakan pelarut non-polar untuk mengetahui dan mengekstrak senyawa-senyawa non-polar yang terdapat pada tumbuhan tersebut.



DAFTAR PUSTAKA


Adesiyun, A. A. (1993). Prevalence of Listeria spp., Campylobacter spp. Salmonella spp. Yersinia spp. and toxigenic Escherichia coli meat and seafoods in Trinidad. Food microbiology, 10(5), 395-403.

Allison, D., & Gilbert, P., 2004, Bacteria, in Denyer, S.P., Hodges, N.A., & Gorman, S.P. (Eds.), Hugo and Russell’s Pharmaceutical Microbiology, 7th Ed., Blackwell Science, Masssachusetts, USA

Ambarwati, R. 2014. Membangun Kelautan untuk Mengembalikan Kejayaan Sebagai Negara Maritim, http://www.ppk-pp3k.kkp.go.id/ver2/news/read/ 115/

Apriyanti, E., Kurnia, D.S.D., Dharsono, H.D.A., Satari, M.H. 2015. Flavonoid dari Myrmecodia pendans dan aktifitas antibakteri terhadap Enterococcus faecalis, Pustaka Unpad. Bandung

Atanassova, M., Georgieva S., and Ivancheva K. 2011. Total  Phenolic  And  Total  Flavonoid  Contents,  Antioxidant Capacity And Biological Contaminants In Medicinal Herbs. Journal of the University of Chemical Technology and Metallurgy. 46 (1): 81-88.

Baghdikian, B., Filly, A., Fabiano-Tixier, A. S., Petitcolas, E., Mabrouki, F., hemat, F., & Ollivier, É. (2016). Extraction by Solvent Using Microwave and Ultrasound-Assisted Techniques Followed by HPLC Analysis of Harpagoside from Harpagophytum Procumbens and Comparison with Conventional Solvent Extraction Methods. Comptes Rendus Chimie. 19 (6): 692-698.

Bayoub, K., Baibai, T., Mountassif, D., Retmane, A., & Soukri, A. (2010). Antibacterial activities of the crude ethanol extracts of medicinal plants against Listeria monocytogenes and some other pathogenic strains. African Journal of Biotechnology, 9(27), 4251-4258.

Bobbarala, V. (2012). Antimicrobial Agent. InTech. Janeza Trdine 9, 51000. Rijeka, Croatia.

Chung, K. T., SE Jr, S., Lin, W. F., & Wei, C. I. (1993). Growth inhibition of selected food‐borne bacteria by tannic acid, propyl gallate and related compounds. Letters in Applied Microbiology, 17(1), 29-32.

Chung, K. T., Zhao, G., Stevens Jr, E., Simco, B. A., & Wei, C. I. (1995). Growth inhibition of selected aquatic bacteria by tannic acid and related compounds. Journal of Aquatic Animal Health, 7(1), 46-49.

Cushnie, T. T., & Lamb, A. J. (2011). Recent advances in understanding the antibacterial properties of flavonoids. International journal of antimicrobial agents, 38(2), 99-107.

Cowan, M.M. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical Microbiology Reviews. 12 : 564 – 582.

Cui, X. B., Qian, X. C., Huang, P., Zhang, Y. X., Li, J. S., Yang, G. M., & Cai, B. C. (2015). Simultaneous determination of ten flavonoids of crude and wine‐processed Radix Scutellariae aqueous extracts in rat plasma by UPLC‐ESI‐MS/MS and its application to a comparative pharmacokinetic study. Biomedical Chromatography, 29(7), 1112-1123.

Doughari, J. H. (2006). Antimicrobial activity of Tamarindus indica Linn. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 5(2): 597-603.

Duncan, C. J., Bowler, K., & Davison, T. F. (1970). The effect of tannic acid on the phosphorylation and ATPase activity of mitochondria from blowfly flight muscle. Biochemical pharmacology, 19(8), 2453-2460.

Efendi, Y. N., & Hertiani, T. (2013). Antimicrobial potency of ant-plant extract (Myrmecodia tuberosa Jack) against Candida albicans, Escherichia coli, and Staphylococcus aureus. Trad Med J. 18 (1): 53-58.

Engida, A. M., Kasim, N. S., Tsigie, Y. A., Ismadji, S., Huynh, L. H., & Ju, Y. H. (2013). Extraction, identification and quantitative HPLC analysis of flavonoids from sarang semut (Myrmecodia pendan). Industrial Crops and Products. 41 (1): 392-396.

Genisa, A.S. (1999). Pengenalan jenis-jenis ikan laut ekonomis penting di Indonesia, Oseana. 24 (1) : 17 – 38.

Gharekhani, M., Ghorbani, M., & Rasoulnejad, N. (2012). Microwave-assisted extraction of phenolic and flavonoid compounds from Eucalyptus camaldulensis Dehn leaves as compared with ultrasound-assisted extraction. Latin American applied research. 42 (3): 305-310.

Gonçalves, A. C., Almeida, R. C. C., Alves, M. A. O., & Almeida, P. F. (2005). Quantitative Investigation on the Effects of Chemical Treatments in Reducing Listeria monocytogenes Populations on Chicken Breast Meat. Food control. 16(7): 617-622.

Grotewold, E. (2006). The Science of Flavonoids, Springer Science Business Media, Inc. New York.

Handayani, D., Mun’im, A., & Ranti, A. S. (2015). Optimation of Green Tea Waste Axtraction Using Microwave Assisted Extraction to Yield Green Tea Extract. Traditional Medicine Journal, 19(1), 29-35.

Herrmann, K., & Nagel, C. W. (1989). Occurrence and content of hydroxycinnamic and hydroxybenzoic acid compounds in foods. Critical Reviews in Food Science & Nutrition, 28(4), 315-347.

Jay, J.M., Loessner, M.J., Golden, D.A. (2005). Modern Food Microbiology 7th Ed. Springer Science Business Media, Inc. New York.

Jing, P., & Giusti, M. M. (2007). Effects of Extraction Conditions on Improving the Yield and Quality of an Anthocyanin‐Rich Purple Corn (Zea mays L.) Color Extract. Journal of food science, 72(7), C363-C368.

Junior, M. R. M., Leite, A. V., & Dragano, N. R. V. (2010). Supercritical fluid extraction and stabilization of phenolic compounds from natural sources–review (supercritical extraction and stabilization of phenolic compounds). Open Chem Eng J, 4, 51-60.

Khumaidi, A., Hertiani, T., & Sasmito, E. (2015). Analisis Korelasi antara Efek Proliferasi Limfosit dengan Kandungan Fenolik dan Flavonoid Subfraksi Etil Asetat Myrmecodia tuberosa (Non Jack) Bl. secara In Vitro pada Mencit BALB/C (Correlation Analysis between Lymphocyte Proliferation. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia.13(1): 102-107.

Kim, S. J., Cho, A. R., & Han, J. (2013). Antioxidant and antimicrobial activities of leafy green vegetable extracts and their applications to meat product preservation. Food Control. 29(1): 112-120.

Kumar, S., & Pandey, A. K. (2013). Chemistry and biological activities of flavonoids: an overview. The Scientific World Journal, 2013.

Lee, K. W., Kim, Y. J., Lee, H. J And Lee, C. Y. 2003. Cocoa Has More Phenolic Phytochemical And Higher Antioxidant Than Teas And Red Wine. J. Agric. Food Chem. 51(25): 249-252.

Lenny, S. (2006). Senyawa flavonoida, fenilpropanoida dan alkaloida, USU Repository@2006. 

Li, M. J., You, J. Y., Yao, S., Ding, L., Liu, Z. Y., & Zhang, H. Q. (2004). Microwave-assisted Extraction of Rutin and Quercetin from Flos Sophorae. Chem Res Chin Univ. 20. 703-706.

Liazid, A., Palma, M., Brigui, J., & Barroso, C. G. (2007). Investigation on phenolic compounds stability during microwave-assisted extraction. Journal of Chromatography A, 1140(1), 29-34.

Lin, Y. T., Labbe, R. G., & Shetty, K. (2004). Inhibition of Listeria monocytogenes in fish and meat systems by use of oregano and cranberry phytochemical synergies. Applied and environmental microbiology, 70(9), 5672-5678.

Lu, Y., & Foo, L. Y. (2000). Antioxidant and radical scavenging activities of polyphenols from apple pomace. Food chemistry, 68(1), 81-85.

Magdalena, N. V., & Kusnadi, J. (2014). Antibakteri dari Ekstrak Kasar Daun Gambir (Uncaria gambir var Cubadak) Metode Microwave-Assisted Extraction Terhadap Bakteri Patogen [In Press Januari 2015]. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(1): 124-135.

Malangngi, L., Sangi, M., & Paendong, J. (2012). Penentuan kandungan tanin dan uji aktivitas antioksidan ekstrak biji buah alpukat (Persea americana Mill.). Jurnal Mipa Unsrat Online. 1(1): 5-10.

Mandal, V., Mohan, Y., & Hemalatha, S. (2007). Microwave assisted extraction—an innovative and promising extraction tool for medicinal plant research. Pharmacognosy Reviews. 1(1): 7-18.

Miladi, H., Chaieb, K., Bakhrouf, A., Elmnasser, N., & Ammar, E. (2008). Freezing effects on survival of Listeria monocytogenes in artificially contaminated cold fresh-salmon. Annals of microbiology, 58(3), 471-476.

Moektiwardoyo, M., Levita, J., Sidiq, S. P., Ahmad, K., Mustarichie, R., & Subarnas, A. (2011). The determination of quercetin in Plectranthus scutellarioides (L.) R. Br. leaves extract and its In SilicoStudy on Histamine H4 Receptor. Indonesian Journal Pharmacy. 191-196.

Murcia, M. A., Jiménez, A. M., & Martínez-Tomé, M. (2009). Vegetables antioxidant losses during industrial processing and refrigerated storage. Food Research International, 42(8), 1046-1052.

National Center for Biotechnology Information. https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/

Naufalin, R., Erminawati. (2013) Sifat Fisikokimia dan Aktivitas Antioksidan Sarang Semut (Myrmecodia pendans) Sebagai Pengawet Alami Pangan. http://www.researchgate.net/publication/260336250

Ozturk, G., Dogan, M., & Toker, O. S. (2014). Physicochemical, functional and sensory properties of mellorine enriched with different vegetable juices and TOPSIS approach to determine optimum juice concentration. Food Bioscience, 7, 45-55.

Pudjiastuti, S. 2014. Infrasruktur, Kendala Pengangkutan Hasil Laut. Harian Kompas, 20 November 2014, hal. 4

Riadi, M. 2016. Senyawa Polifenol pada Tanaman. http://www.kajianpustaka.com/2014/06/senyawa-polifenol-pada-tanaman.html

Sanjaya, R. E., Tedjo, Y. Y., Kurniawan, A., Ju, Y. H., Ayucitra, A., & Ismadji, S. (2014). Investigation on supercritical CO 2 extraction of phenolic-phytochemicals from an epiphytic plant tuber (Myrmecodia pendans). Journal of CO2 Utilization, 6, 26-33.

Sari, D. K., Wardhani, D. H., & Prasetyaningrum, A. (2012). Pengujian Kandungan Total Fenol Kappahycus alvarezzi dengan Metode Ekstraksi Ultrasonik dengan Variasi Suhu dan Waktu. Prosiding SNST Fakultas Teknik, 1(1).

Scalbert, A. (1991). Antimicrobial properties of tannins. Phytochemistry, 30(12), 3875-3883.

Setyani, W., Hertiani, T., & Murti, Y. B. (2012). Isolation and Identification of Antimicrobial Compound From Sarang Semut Tubers (Myrmecodia tuberosa (non Jack.) Bl.). STIFAR-Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi, 7(1).

Salminen, S., Bouley, C., Boutron, M. C., Cummings, J. H., Franck, A., Gibson, G. R., ... & Rowland, I. (1998). Functional food science and gastrointestinal physiology and function. British Journal of Nutrition, 80(S1), S147-S171.

Sankar, S., Sujith, P., & Jayalaxmi, S. (2013). Microbial study and proximate composition of six marine fish species in Mudasalodai coastal region. International Journal of Pharmacy and Biological Sciences, 3(3), 398-404.

Shan, B., Cai, Y. Z., Sun, M., & Corke, H. (2005). Antioxidant capacity of 26 spice extracts and characterization of their phenolic constituents. Journal of agricultural and food chemistry, 53(20), 7749-7759.

Shao, P., He, J., Sun, P., & Zhao, P. (2012). Analysis of conditions for microwave-assisted extraction of total water-soluble flavonoids from Perilla Frutescens leaves. Journal of food science and technology, 49(1), 66-73.

Shelef, L. A., Naglik, O. A., & Bogen, D. W. (1980). SENSITIVITY OF SOME COMMON FOOD‐BORNE BACTERIA TO THE SPICES SAGE, ROSEMARY, AND ALLSPICE. Journal of Food Science, 45(4), 1042-1044.

Situmeang, B., Kurnia, D., & Sumiarsa, D. Pentacyclic Triterpenes From Sarang Semut Tuber (Myrmecodia pendans) and Their Antibacterial Activity Test Against Escherichia coli. Unpad. Bandung.

Soeksmanto, A., Subroto, M. A., Wijaya, H., & Simanjuntak, P. (2010). Anticancer activity test for extracts of Sarang semut plant (Myrmecodya pendens) to HeLa and MCM-B2 cells. Pakistan journal of biological sciences: PJBS. 13(3): 148-151.

Su, Y. C., & Liu, C. (2007). Vibrio parahaemolyticus: a concern of seafood safety. Food microbiology, 24(6), 549-558.

Subroto, A. 2006. Gempur Penyakit Dengan Sarang Semut. Penebar Swadaya. Jakarta.

Subuh, M. 2015. Mengenal Bakteri Lysteria monocytogenes. www.depkes.go.id/article/view/15015800001/mengenal-bakteri-lysteria-monocytogenes.html. 27 Januari 2015

Suryani, L., & Stepriyani, S. (2016). Daya antibakteri infusa daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap Staphylococcus aureus dan Eschericia coli. Jurnal Mutiara Medika, 7(1 (s)), 23-28.

Susanti, E. (2016). Inventarisasi Tumbuhan Sarang Semut Di Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Susanto, E., Agustini, T. W., Swastawati, F., Surti, T., Fahmi, A. S., Albar, M. F., & Nafis, M. K. (2011). Pemanfaatan Bahan Alami Untuk Memperpanjang Umur Simpan Ikan Kembung (Rastrelliger Neglectus). Journal of Fisheries Sciences. 13(2): 60-69.

Suwandi, A. C. (2015). Identification of Bioactive Compounds in Water Extract of Sarang Semut (Myrmecodia pendans). National Taiwan University of Science and Technology. Taipei.

Taguri, T., Tanaka, T., & Kouno, I. (2004). Antimicrobial activity of 10 different plant polyphenols against bacteria causing food-borne disease. Biological and Pharmaceutical Bulletin, 27(12), 1965-1969.

Tortora GJ., Funke, BR., Case CL. 2001. Microbiology an Introduction 7th edition. 

Addison Wesley Longman. United States America. p. 323-324, 549-572,690-697. 

US Food and Drug Administration (US FDA). 2007. Secondary direct food additives permitted in food for human consumption. http://www.cfsan.fda.gov/~lrd/fr040402.html.

Utomo, A.B., Suprijono, A., Risdianto, A. 2011. Uji aktifitas antioksidan kombinasi ekstrak sarang semut (Myrmecodia pendans) dan ekstrak the hitam (Camellia sinensis O.K. var. assamica (mast.)) dengan metode DPPH. MFI. 6 (1) : 2-7 .

Vatai, T., Škerget, M., & Knez, Ž. (2009). Extraction of phenolic compounds from elder berry and different grape marc varieties using organic solvents and/or supercritical carbon dioxide. Journal of Food Engineering, 90(2), 246-254.

Xu, H. X., & Lee, S. F. (2001). Activity of plant flavonoids against antibiotic-resistant bacteria. Phytotherapy Research. 15(1): 39-43.

















Lampiran 1.  ANOVA Jumlah Log Bakteri pada Ikan

One-way ANOVA: COOLING versus STORAGE (DAYS) 


Source          DF       SS       MS       F      P

STORAGE (DAYS)   4  6,65804  1,66451  569,20  0,000

Error           10  0,02924  0,00292

Total           14  6,68728


S = 0,05408   R-Sq = 99,56%   R-Sq(adj) = 99,39%


Grouping Information Using Tukey Method


STORAGE

(DAYS)   N    Mean  Grouping

45       3  6,0656  A

30       3  5,8203    B

15       3  5,4904      C

 1       3  4,5208        D

 0       3  4,4492        D


One-way ANOVA: COOLING+EXTRACT versus STORAGE (DAYS) 


Source          DF       SS       MS      F      P

STORAGE (DAYS)   4  3,36918  0,84230  96,40  0,000

Error           10  0,08738  0,00874

Total           14  3,45656


S = 0,09348   R-Sq = 97,47%   R-Sq(adj) = 96,46%



Grouping Information Using Tukey Method


STORAGE

(DAYS)   N    Mean  Grouping

45       3  5,6957  A

30       3  5,1054    B

15       3  4,6166      C

 1       3  4,4898      C

 0       3  4,4492      C


One-way ANOVA: FREEZING versus STORAGE (DAYS) 


Source          DF       SS       MS       F      P

STORAGE (DAYS)   4  0,77279  0,19320  112,27  0,000

Error           10  0,01721  0,00172

Total           14  0,79000


S = 0,04148   R-Sq = 97,82%   R-Sq(adj) = 96,95%


Grouping Information Using Tukey Method


STORAGE

(DAYS)   N     Mean  Grouping

45       3  4,95132  A

30       3  4,95093  A

 1       3  4,52084    B

15       3  4,50077    B

 0       3  4,44920    B





One-way ANOVA: FREEZING+EXTRACT versus STORAGE (DAYS) 


Source          DF       SS       MS      F      P

STORAGE (DAYS)   4  1,30670  0,32668  41,39  0,000

Error           10  0,07893  0,00789

Total           14  1,38564


S = 0,08885   R-Sq = 94,30%   R-Sq(adj) = 92,02%


Grouping Information Using Tukey Method


STORAGE

(DAYS)   N    Mean  Grouping

 1       3  4,4898  A

 0       3  4,4492  A

45       3  4,4072  A

30       3  4,1131    B

15       3  3,7056      C



One-way ANOVA: 30 days versus treatment 


Source     DF       SS       MS       F      P

treatment   3  4,41922  1,47307  532,94  0,000

Error       8  0,02211  0,00276

Total      11  4,44133


S = 0,05257   R-Sq = 99,50%   R-Sq(adj) = 99,32%


Grouping Information Using Tukey Method


treatment         N    Mean  Grouping

cooling           3  5,8203  A

cooling+extract   3  5,1054    B

freezing          3  4,9509      C

freezing+extract  3  4,1131        D


One-way ANOVA: 45 days versus treatment 


Source     DF       SS       MS       F      P

treatment   3  4,97907  1,65969  235,71  0,000

Error       8  0,05633  0,00704

Total      11  5,03540


S = 0,08391   R-Sq = 98,88%   R-Sq(adj) = 98,46%



Grouping Information Using Tukey Method


treatment         N    Mean  Grouping

cooling           3  6,0656  A

cooling+extract   3  5,6957    B

freezing          3  4,9513      C

freezing+extract  3  4,4072        D







APLIKASI EKSTRAK TANAMAN SARANG SEMUT (Myrmecodia pendans)

DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI PADA IKAN 


PERCOBAAN SAINS TEKNOLOGI TEPAT GUNA

  

  



Oleh:

RAHMAT YULIANDRI

NIP. 19820703 201012 1 001




PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

SEKOLAH USAHA PERIKANAN MENENGAH SORONG

2 0 2 0


LEMBAR PENGESAHAN


APLIKASI EKSTRAK TANAMAN SARANG SEMUT (Myrmecodia pendans)

DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI PADA IKAN 





PERCOBAAN SAINS TEKNOLOGI TEPAT GUNA









Oleh:


Nama Mahasiswa : Rahmat Yuliandri

NIP        : 19820703 201012 1 001






Mengetahui

Kepala Sekolah




( Erni Kristina P., A.Pi.,M.P.)







KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayat-Nya penulis telah dapat menyelesaikan Percobaan Sains Teknologi Tepat Guna dengan judul: “Aplikasi Ekstrak Tanaman Sarang Semut (Myrmecodia pendans) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri pada Ikan”. Judul di atas dilatarbelakangi oleh adanya kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh penduduk Papua dalam memanfaatkan sumber daya alamnya. Kelebihan yang dimiliki mereka yaitu kekayaan sumber daya alam yang diantaranya berupa ikan dan sarang semut, sedangkan kekurangannya yaitu jauhnya jarak dalam memasarkan ikan tersebut. Dengan memanfaatkan sarang semut untuk memperpanjang umur simpan ikan segar, diharapkan akan menjadi solusi bagi proses pemasaran ikan di Papua.

Penulis Menyampaikan syukur kepada Allah SWT, terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Kepala SUPM Sorong dan rekan-rekan kerja di SUPM Sorong, serta Instansi Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan dukungan penuh dalam pelaksanaan penelitian ini.

Penulis menyadari akan beberapa keterbatasan dari penelitian ini sehingga saran-saran untuk penyempurnaan model analisis diterima dengan tangan terbuka dan sebelumnya disampaikan terima kasih.


Sorong, 18 Agustus 2020


    Penulis,




DAFTAR ISI



Halaman


HALAMAN JUDUL.............................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN.................................................................. ii


KATA PENGANTAR........................................................................... iii


DAFTAR ISI......................................................................................... iv


DAFTAR GAMBAR.............................................................................. v


I. PENDAHULUAN..................................................................... 1

1.1. Latar Belakang............................................................. 1

1.2. Tujuan........................................................................... 3

1.4. Manfaat......................................................................... 3


II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 4

2.1. Taksonomi Tanaman Sarang Semut........................... 4

2.2. Senyawa Fenolik dalam Sarang Semut....................... 5

2.2. Ikan Kakap Merah......................................................... 8

2.3. Bakteri Patogen Pada Ikan........................................... 8

III. PROSEDUR DAN HASIL EKSPERIMEN................................ 13

3.1. Persiapan Eksperimen................................................... 13

3.1.1. Obyek dan Variabel Eksperimen......................... 13

3.1.2. Alat dan Bahan yang Digunakan........................... 13

3.1.3. Langkah-langkah Penyiapan Eksperimen............ 13

3.2. Pelaksanaan Eksperimen............................................... 13

3.2.1. Langkah-langkah Eksperimen.............................. 13

3.2.2. Hasil Eksperimen.................................................. 14

IV. KESIMPULAN DAN SARAN....................................................... 20

4.1. Kesimpulan...................................................................... 20

4.2. Saran................................................................................ 20

DAFTAR  PUSTAKA  .............................................................................     21


LAMPIRAN............................................................................................... 27















DAFTAR LAMPIRAN


Halaman


Anova Jumlah Log Bakteri pada Ikan.............................................. 24
















































DAFTAR GAMBAR

Halaman


Tumbuhan sarang semut............................................................. 4

Pengaruh perlakuan perendaman daging ikan terhadap jumlah L.monocytogenes......................................................................... 16

Alur proses eksprimen.................................................................. 19






Comments